Cedera pada otak traumatik adalah benturan mendadak atau bahkan yang menembus kepala sehingga mengganggu fungsi otak normalnya. Cedera ringan bisa saja menimbulkan gangguan gangguan kesadaran, cedera berat dapat berakhir dengan kematian. Kejadian cedera otak bisa mengubah fisik, kongnisi, sosial, dan vokasional seseorang. Keluhan yang sering dirasakan antara lain adalah gangguan memori, mood, dan konsentrasi hingga fungsi eksekutif.
Bicara mengenai cedera otak, dikenal istilah lesi massa, yang mengacu pada suatu area di otak yang menimbulkan penekanan. Paling sering adalah hematoma dan kontusio. Hematoma adalah gumpalan darah. Bisa berada di permukaan otak, atau di bawah selaput otak dan bisa juga di dalam otak. Kontusi adalah memar. Seringkali memar terjadi di daerah frontal (depan) atau temporal (samping) otak. Lesi massa tersebut adalah kelainan yang dapat dioperasi. Makin cepat dievakuasi, maka diharapkan kecacatan bahkan kematian dapat dihindari. Temuan lesi massa dapat disertai atau tanpa patah tulang tengkorak.
Ada kelainan lain yang dikenal dengan istilah cedera difus. Kelainan ini adalah gegar otak yang berat dimana kerusakan terjadi hampir disemua bagian otak. Seringkali disertai edema/ pembengkakan otak yang mengakibatkan kurangnya aliran darah ke otak dan akhirnya menyebabkan efek negatif. Untuk mendeteksi semua kelainan di atas, pasien akan diperiksa lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan cedera di bagian tubuh lainnya. Kesadaran dinilai dengan skala internasional (Skala GCS) dan seringkali diperlukan pemeriksaan tambahan seperti x-ray, pemeriksaan laboratorium, dan CT Scan kepala.
Pembedahan
Banyak pasien dengan kondisi darurat harus segera dilarikan ke ruang operasi untuk menyelamatkan nyawanya. Karena waktu adalah otak, maka semakin cepat otak bebas dari tekanan lesi massa, maka semakin banyak sel otak yang selamat dari kerusakan. Pembedahan dilakukan untuk menghilangkan penekanan pada otak, baik oleh lesi massa maupun oleh pembengkakan pada cedera difus. Tulang tengkorak bisa dilepas untuk sementara untuk memberikan waktu dan ruang bagi “angry brain”, rata-rata 1 – 3 bulan. Bila bengkak otak tadi telah terkendali, maka dilakukan pemasangan kembali tulang tengkorak tadi. Pembedahan yang dilakukan dalam waktu cepat mampu menghindarkan pasien dari kecacatan.
Pada pasien usia lanjut, kondisi cedera otak sedikit berbeda, dimana kondisi fisik pasien berpengaruh banyak pada proses penyembuhannya. Sering lesi massa pada pasien usia lanjut timbul setelah beberapa hari bahkan minggu sejak benturan. Pasien sendiri seringkali lupa dengan riwayat benturan tadi.
Terapi Farmakologi
Hingga kini, belum ada “obat dewa” yang mampu mengatasi cedera otak traumatik. Tujuan terapi di ICU adalah mencegah cedera lanjutan (sekunder) pada otak. Yang dimaksud dengan cedera sekunder antara lain adalah gangguan oksigenasi, gangguan aliran darah ke otak, suhu tubuh yang tinggi, peningkatan kadar gula darah, dan lainnya yang dapat mengakibatkan perburukan kondisi neurologi.
Rehabilitasi
Penyembuhan setelah cedera pada otak traumatik sangat bervariasi. Sering ditemukan fase plateu dimana seakan tidak ada kemajuan sama sekali meski dengan latihan rutin. Konsepnya adalah retraining, dimana kemampuan otak dikembalikan dengan repetisi. Edukasi untuk anggota keluarga juga perlu untuk penyesuaian ekspektasi dan bagaimana mereka bisa membantu pasien. Kandidat utama program rehabilitasi adalah pasien dengan cedera berat dengan tujuan mencegah timbulnya komplikasi seperti kekakuan sendi, perburukan saluran nafas, infeksi kulit dan lainnya. Semakin dini rehabilitasi dilakukan, maka peluang kesembuhannya semakin besar dibandingkan yang dibiarkan terbaring di ranjang saja.
Penyembuhan
Pasien dengan cedera sedang 60% akan mengalami kesembuhan, 25% menderita kecacatan dan sisanya berakhir dengan kematian atau status vegetatif. Status vegetatif adalah kondisi dimana pasien hanya terbaring di ranjang, tidak mampu melakukan aktifitas hariannya sendiri, seringkali tidak mampu merespon rangsang dunia luar. Hanya 30% pasien dengan cedera yang berat berhasil sembuh. Sebagian besar lainnya menderita kecacatan yang permanen.
Statistik tersebut di atas, berlaku untuk cedera otak tertutup. Lebih dari 50% pasien dengan cedera otak tembus, yang sering disebabkan oleh peluru, berakhir dengan kematian karena kerusakan masif yang dibuat oleh peluru. Untuk cedera otak tembus lain seperti tertusuk pisau atau besi di kepala, memiliki resiko infeksi dan akhirnya menjadi kejang atau dikenal dengan istilah epilepsi.
Epilepsi lebih sering mengikuti kejadian cedera otak sedang hingga berat. Pasien terpaksa mengkonsumsi obat anti kejang selama jangka waktu tertentu hingga kejangnya terkendali. Bila kejang tersebut tidak kunjung terkendali dengan obat-obatan maka pembedahan untuk menghilangkan “parut” di otak menjadi pilihan berikutnya.
Tips Pencegahan Cedera Otak Traumatik dan Komplikasinya
Gunakan seatbelt atau helm bila berkendara atau bekerja di ketinggian atau saat melakukan olahraga yang beresiko. Helm yang digunakan sebaiknya yang telah memiliki standar yang jelas dan ukuran yang sesuai pula. Selalu berkendara dalam kondisi yang sehat sempurna, tidak dibawah pengaruh obat maupun alkohol. Simpan senjata tajam di tempat yang seharusnya. Letakkan barang dengan sempurna agar tidak mudah jatuh dan membentur kepala. Pasang handrail di tangga atau tempat lain yang licin, sehingga kemungkinan jatuh lebih kecil.
Segera bawa ke rumah sakit untuk semua cedera otak. Atau segera panggil ambulans terdekat. Benturan ringan bisa saja menimbulkan lesi massa. Pemeriksaan yang tepat akan menghindarkan pasien dari komplikasi yang lebih berat. Jaga oksigenasi dengan memastikan jalan nafas pasien bersih dari sumbatan apa pun termasuk cairan liurnya sendiri, apalagi darah. Pasien cedera otak bisa saja menderita cedera di bagian tubuh lainnya ,misalnya patah tulang leher, sehingga mengangkat pasien secara langsung tidak dianjurkan.
Narasumber: dr. Wienorman Gunawan, Sp.BS
No comment yet, add your voice below!